Seorang pilot sipil Amerika bernama Kenneth Arnold dalam penerbangannya melintasi wilayah negara bagian Washington pada 24 Juni 1947 melihat sejumlah pesawat yang semula dikiranya pesawat tempur. Namun ia kemudian sadar bahwa apa yang dilihatnya bukan pesawat biasa karena kecepatannya, menurut perhitungannya sekitar 1300 mph. Ia berusaha melukiskan pengelihatannya; ia berkata: “seperti piring terbang rendah di atas permukaan air dengan kecepatan tinggi”. Inilah pertama kali istilah piring terbang (flying soucer) dipergunakan untuk wahana antariksa tak dikenal.
Laporan penampakan seperti yang dilihat Arnold bukanlah yang pertama kali. Salah satu catatan awal penampakan wahana antariksa tak dikenal muncul pada tahun 1254 oleh biarawan Saint Alban, Inggris. Dan sejak itu ratusan penampakan diseluruh dunia terus bermunculan, baik oleh perseorangan maupun kelompok orang dan dari berbagai kalangan. Tentu kalian pernah mendengar istilah UFO yaitu singkatan dari Unidentified Flying Object atau “Benda Terbang Tak Dikenal”. Penampakan – penampakan diatas kemudian sering diistilahkan melihat UFO, atau dikunjungi oleh UFO. Cerita UFO ini beragam, mulai dari yang hanya melihat kerlap kerlip obyek terbang bercahaya dilangit malam, ada yang merasa pernah melihat makhluk itu mendarat di Bumi bahkan konon ada yang pernah diculik oleh mereka. Semua atau sebagian laporan itu bisa benar atau bisa sensasi belaka atau sekadar kesalahan menafsir penglihatan saja. Apa yang penting kemudian dengan atau tanpa adanya penampakan – penampakan adalah pertanyaan “Apakah di luar sana ada makhluk hidup, mungkin cerdas dan kemudian memiliki teknologi tinggi untuk melakukan perjalanan angkasa luar?”.
Pertanyaan ini sangat logis dan manusiawi. Logis karena memang posisi Bumi yang tidak seistimewa yang dipikirkan Aristoteles dengan paham geosentrisnya tentulah mengherankan bila manusia menjadi sebuah keistimewaan di Alam Semesta dari sisi keberadaannya. Manusiawi, karena manusia adalah makhluk sosial yang terpatri dalam intelektualitasnya bahwa mustahil rasanya manusia tercipta dalam kesendirian di Alam Semesta yang demikian luasnya. Buktinya cerita rakyat, lukisan – lukisan dalam gua sampai kepada legenda kuno hampir semua bangsa senantiasa melibatkan peranan makhluk – makhluk luar Bumi apakah dalam bentuk dewa – dewa atau kepercayaan semisal Gilgamesh pada suku Maya.
Di jaman modern seperti sekarangpun, kita juga punya cerita yang tidak jauh berbeda semisal “War of the Worlds” karya George Orwell yang mengisahkan secara ekstrim suatu invasi makhluk asing ke Bumi atau kisah fiksi ilmiah tentang perjalanan luar angkasa dalam film “Alien” yang sempat muncul dalam empat seri.
Bagaimana dengan ilmu pengetahuan? Ilmu pengetahuan yang senantiasa berbasis bukti ilmiah sedikit memberi ruang bagi terjawabnya misteri ini. Kalangan ilmuwan masih skeptis terhadap “kunjungan istimewa” ini, karena dua sebab; Pertama, sejumlah besar laporan tidak dapat diabadikan sebagai bukti. Jikapun berhasil diabadikan banyak kesaksian yang meragukan bahwa foto – foto bukti sebagai hasil rekayasa atau kesalahan penafsiran (human eror). Kedua, skeptisisme para ilmuwan dilandasi oleh bukti ilmiah yang muncul dari berbagai penelitian resmi yang menunjukkan kecilnya peluang menemukan bentuk kehidupan di luar Bumi, sekalipun dalam bentuknya yang paling sederhana. Kalian pernah mendengar ekspedisi Viking dan Voyager milik Amerika Serikat ataupun program SETI. Itu semua merupakan upaya ilmiah mencari jawaban atas misteri ini.
Alasan ketiga dan ini yang terpenting. Pemikiran sederhana bahwa sejarah 3.5 miliar tahun keberlangsungan kehidupan di Bumi (Usia Bumi itu sendiri diperkirakan sekitar 5 milyar tahun) dari sejak terciptanya planet ini sampai munculnya kehidupan multi cellular. Bandingkan dengan perkiraan usia Alam Semesta ini yang sekitar 12 milyar tahun. Jika saja tahapan evolusi sebagaimana yang terjadi di Bumi juga secara seragam dan paralel terjadi entah dipelosok Alam Semesta manapun maka kecil kemungkinan bahwa kehidupan luar Bumi itu telah mencapai suatu tahap peradaban space travel yang melampaui batas kemampuan manusia saat ini.
Sekalipun para ilmuwan memiliki segudang alasan untuk tidak percaya, namun mereka tetap membuka peluang adanya bentuk – bentuk kehidupan di luar sana. Setidaknya sejarah sudah membuktikan bahwa bukankah sejak dulu manusia senantiasa memimpikan suatu perjalanan ke Bulan. Dan impian itu memerlukan waktu 10.000 tahun sejak manusia memasuki tahap peradaban sampai akhirnya berhasil menjejakkan kaki di Bulan. Itu sebabnya para ilmuwan di Amerika Serikat dan negara maju lainnya terus mengembangkan program penelitian untuk mencari kemungkinan adanya kehidupan luar Bumi.
Sejarah Pemikiran
Kepercayaan kuno tentang kehidupan di luar Bumi hampir terdapat di semua peradaban besar yang pernah ada seperti India, Mesir, Arab, Babilonia, Assiria dan Sumeria. Sekalipun pemikiran tentang keberadaan makhluk luar Bumi ini bercampur aduk dengan peran dan keberadaan dewa dan unsur supranatural lainnya sehingga sulit untuk dianggap sebagai bukti ilmiah. Namun patut dicatat pendapat pemikir Yunani, Thales dan Anaksimanderyang mengemukakan tesisnya bahwa kehidupan di luar Bumi haruslah tak berhingga banyaknya, sama takberhingganya dengan luas Alam Semesta itu sendiri. Catatan ini menunjukkan bahwa sejak awal manusia secara rasional menduga adanya kehidupan di luar Bumi.
Dalam khasanah Hindu yang meyakini adanya siklus kehidupan (reinkarnasi) menunjukkan bahwa harus ada banyak Alam Semesta. Tuhan menciptakan banyak dunia untuk memberi kesempatan kepada ruh memperbaiki perilakunya di dunia yang lain. Dalam khasanah Islam, Kitab Suci Al Qur’an yang menyiratkan adanya banyak dunia; “Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam”, dimana kata Semesta Alam menunjukkan jamak (banyak). Keberadaan makhluk lain pun senantiasa diberi peluang dengan banyaknya ayat yang menyitir “makhluk yang melata dipermukaan Bumi (manusia), di langit (malaikat) dan makhluk yang diantara keduanya”.
Dalam khasanah Kristiani, sekalipun gereja tidak secara resmi mengakui keberadaan banyak dunia, namun Uskup Paris Etienne Tempier tetap tidak sependapat dengan Aristoteles yang pemikiran – pemikirannya pernah mewarnai Gereja dalam rentang waktu yang lama, bahwa Tuhan dengan kekuasaanNya yang tak terbatas tentulah dapat menciptakan banyak dunia.
Khasanah ilmu pengetahuan abad Pertengahan juga mencatat pemikiran yang searah. Penemuan Copernicus – yang menggugurkan konsep geosentrisme Aristoteles – menyatakan bahwa Bumi hanyalah sebuah planet saja dalam suatu sistem Tata Surya dan konsekuensinya Kebesaran Nya bukan saja memungkinkan adanya kehidupan lain selain di Bumi tetapi bahkan merupakan suatu keharusan.
Wacana Ilmiah
Sesungguhnya terkait penyelidikan ilmiah dalam upaya memecahkan teka – teki adanya kehidupan di luar Bumi dapat dibagi dalam dua tahap pendekatan. Pertama, adalah upaya untuk menjawab adakah bentuk kehidupan serupa Bumi di luar Bumi. Merujuk kepada buku yang ditulis oleh ahli geologi dan palaentologi Peter Ward dan ahli astrobiologi Donald Brownlee; The Rare Earth: Why Complex Life is Uncommon in the Universe, menyatakan bahwa bila toh ada kehidupan ekstra terestrial, maka kehidupan tinggi (multi cellular) seperti di Bumi bukanlah bentuk yang umum dapat dijumpai di Alam Semesta. Sebaliknya kehidupan mikrobiologilah yang jauh lebih memungkinkan. Kemungkinan pandangan ini bermula dari pemikiran bahwa suatu kehidupan multi cellular memerlukan lompatan besar yang peluangnya sangat kecil.
Kedua ilmuwan itu membuka peluang munculnya pemikiran untuk menemukan adanya kehidupan yang tidak berbasis DNA. Manusia acapkali terjerembab pada ide geosentrisme, dan kedua ilmuwan ini tampaknya tidak ingin mengulangi kegagalan cara pandang Aristoteles yang terlalu geosentris atau antroposentris. Hipotesa Gaia yang dikemukakan oleh JE Lovelock mengatakan bahwa planet yang mengandung beragam kehidupan diindikasikan oleh keberadaan atmosfir yang tidak setimbang secara kimia yang dapat diamati melalui spektroskopi. [penjelasan lebih lanjut lihat Box] Hipotesa ini membantu dalam memandu ilmuwan mengembangkan penelitian kemungkinan adanya kehidupan pada sistem tata surya selain Matahari yang berbasis DNA ataupun bukan.
Kedua, upaya untuk menjawab adakah kehidupan cerdas di luar Bumi. Pertanyaan ini merupakan kelanjutan dari pertanyaan pertama yaitu jika memang kehidupan di luar Bumi itu ada, apakah ada makhluk cerdas disana. Kalian tahu bahwa kehidupan cerdas di Bumi saja muncul baru pada detik – detik terakhir evolusi kehidupan di Bumi sekitar 1.000.000 tahun silam. Artinya dibutuhkan waktu jutaan tahun bahkan miliaran tahun bagi munculnya suatu kehidupan cerdas. Sejauh yang dimaksud kecerdasan adalah kecerdasan pada manusia, lompatan besar atau revolusi dari makhluk tanpa kecerdasan menuju kepada makhluk cerdas di Bumi pun masih merupakan misteri. Teori Evolusi Darwin itu sendiri masih merupakan hipotesa bahwa kecerdasan (manusia) termasuk bagian dari proses evolusi. Jika kecerdasan adalah bagian dari proses evolusi maka mengapa saat ini kita masih melihat adanya hewan yang sama sekali tidak memiliki kecerdasan atau hewan yang memiliki kecerdasan sedikti dibawah manusia. Bagaimana dengan bentuk kehidupan cerdas di Luar Bumi yang menyamai kecerdasan manusia atau bahkan melampaui kecerdasan manusia (karena bisa mengirim wahana antariksa menempuh perjalanan jutaan tahun cahaya mengunjungi manusia di Bumi). Bila ya ada, maka tentulah usia peradaban mereka jauh lebih tua dari manusia atau bahkan mungkin seusia dengan Alam Semesta ini. Mungkinkah?
Upaya yang paling populer sampai saat ini namun belum menghasilkan bukti kuat yaitu program Pesan Arecibo. Para astronom mengirimkan sejumlah sinyal digital yang mengandung informasi tertentu yang dapat ditafsirkan (konon secara universal) ke arah gugus bola M13 yaitu suatu kumpulan berbentuk simetri bola dari sejumlah bintang (dicatat pada katalog Messier) dengan harapan bila disana ada makhluk cerdas akan menerima pesan ini dan tentunya akan memberikan respon. Sayangnya sampai saat ini belum ada respon apapun.
Bentuk kehidupan uni cellular mungkin lebih dapat diterima ketimbang suatu kehidupan multi cellular apalagi suatu kehidupan cerdas. Kemungkinan pernah adanya kehidupan mikroba di Mars diperoleh dari ekspedisi yang membawa kendaraan pendarat Viking di Mars. Misi ini berhasil mengambil sejumlah contoh tanah dan gas dari permukaan Mars yang diduga mengindikasikan ada atau pernah ada kehidupan uni cellular. Sebelumnya tahun 1996, para ilmuwan menjumpai formasi fosil bakteri nano (kecil) pada meteorit ALH84001 yang diduga dilontarkan dari permukaan Mars. Namun hasil – hasil ini masih menjadi perdebatan.
Planet Luar Tata Surya
Planet dalam Tata Surya selain Bumi dan diduga juga Mars, hampir pasti kecil peluang menemukan kehidupan karena ekstrimnya lingkungan permukaan planet – planet. Lalu bagaimana dengan peluang menemukan kehidupan di luar Tata Surya Matahari itu sendiri? Para ilmuwan juga mencoba meneliti planet – planet di luar Tata Surya Matahari yang mungkin memiliki peluang kehidupan. Planet itu adalah Gliese 581 c dan OGLE-2005-BLG-390Lb yang memiliki sejumlah kesamaan dengan planet Bumi. Namun keterbatasan kemampuan peralatan untuk mendeteksi keberadaan unsur penting kehidupan semisal senyawa Oksigen yang tidak mungkin diketahui keberadaannya hanya melalui deteksi radio. Planet ini ditemukan melalui pengamatan teleskopis di Observatorium La Silla Chili pada tahun 2007. Gliese 581 c itu sendiri adalah bintang katai merah yang berjarak 20.5 tahun cahaya dari Bumi. Namun hasil simulasi komputer oleh sarjana Jerman, Werner von Bloh menunjukkan bahwa keberadaan CO2 dan CH4 senyawa utama bagi keberlangsungan kehidupan justru akan menyebabkan terjadinya efek rumah kaca pada planet itu dan menyebabkan suhu atmosfir mencapai diatas titik didih dan menihilkan peluang menemukan kehidupan. Kini para astronom mengalihkan perhatian pada Gliese 581 d yang letaknya pada orbit luar Gliese 581 c jadi suhu planet diperkirakan lebih dingin untuk memungkinkan dijumpainya kehidupan.
Bagaimana para ilmuwan menduga suatu planet memiliki kemungkinan kehidupan? Pertama, para ilmuwan menyusun suatu tabulasi berbagai parameter yang diperoleh di Bumi yang mengindikasikan kemungkinan adanya kehidupan. Misalnya suhu atmosfer, pola cuaca, kehadiran senyawa air, CO2, CH4, aktivitas gunung berapi, gerak tektonik, jarak Matahari dan Bumi, dan lainnya. Ini didasarkan kepada asumsi bahwa kehidupan ala Bumi tentulah mensyaratkan kesamaan lingkungan ekologis. Kedua, para ilmuwan melakukan simulasi komputer yang memvariasikan berbagai kelas bintang dan jarak planet terhadap Bintang. Variasi jarak bintang dan planet terhadap variasi kelas bintang menghasilkan apa yang disebut wilayah kehidupan (habitable zone) yaitu wilayah kedudukan planet yang memungkinkan dijumpainya kehidupan mirip Bumi.
Dalam gambar tampak bahwa pita biru menunjukkan peluang menemukan kehidupan pada berbagai variasi jarak planet – bintang terhadap variasi bintang. Pita biru serong kekanan bila suhu permukaan bintang makin tinggi dan pita biru serong kekiri untuk bintang yang lebih dingin. Artinya habitable zone ini menjadi pedoman bagi para ilmuwan untuk memprakirakan ada atau tidaknya kehdupan. Sekali lagi pita biru ini sangat geosentris artinya dengan pendekatan ini maka kita hanya berpeluang menemukan kehidupan ala Bumi di luar Bumi.
Seorang ilmuwan periset di SETI, Frank Drake mengembangkan suatu persamaan yang menghitung peluang menemukan kehidupan cerdas di laur Bumi. Persamaan Drake ini mengandung variabel – variabel: 1) laju formasi bintang yang memungkinkan adanya kehidupan, 2) fraksi bintang yang mengandung planet, 3) jumlah sistem planet yang mirip Bumi, 4) fraksi planet dimana berkembang kecerdasan, 5) fraksi jumlah planet yang memungkinkan komunikasi, 6) rentang waktu peradaban yang memungkinkan komunikasi. Dari persamaan ini, Drake menemukan bahwa ada 10.000 planet yang mungkin berkehidupan seperti Bumi dan memiliki kecerdasan untuk mampu berkomunikasi dalam Galaksi Bima Sakti. Ketika teleskop Hubble mulai beroperasi memantau wilayah langit dijumpai tak kurang dari 125 miliar galaksi dan dengan persamaan Drake ini menghasilkan peluang sekitar 6.25 miliar bentuk kehidupan yang mungkin. Sungguhpun hasil persamaan Drake, sebagaimana juga hasil – hasil riset mutakhir, besarnya peluang menemukan adanya kehidupan cerdas, namun tidak sekalipun hasil – hasil itu membawa kepastian bagi kita. Jadi pertanyaan : Mungkinkah kita tidak sendiri di Alam Semesta ini? Masih tetap relevan. Ada yang berminat meneliti misteri ini?.
Hipotesa Gaia (Ibu Bumi)
Sejak penelitian tentang kehidupan luar Bumi dimulai, para ilmuwan mulai mendefinisikan apakah kehidupan itu sendiri. Sekurangnya, Bernal, Erwin Schrodinger dan Paul Wigner mendefinisikan bahwa kehidupan adalah kumpulan gejala - gejala yang bersifat terbuka dan kontinu (sinambung) yang mampu menurunkan entropi internalnya dengan memanfaatkan bahan - bahan atau energi bebas yang diambil dari lingkungannya dan kemudian dikeluarkan dalam bentuk terurai . Sekalipun definisi ini masih menyisakan sederet kemungkinan bentuk non kehidupan termasuk dalam batasan ini, namun arahnya sudah benar.
Selanjutnya JE Lovelock mengungkapkan bahwa aktivitas atmosfir tidak dapat dilepaskan dari aktivitas dipermukaan Bumi yaitu kehidupan. Ini mendorong pemahaman bahwa ketidakstabilan dalam atmosfir Bumi disebabkan oleh aktivitas kehidupan di Bumi. misalnya teroksidasinya Oksida Nitrat dan Amonia merupakan anomali tanpa mempertimbangkan sintesa nitrogen oleh bentuk - bentuk kehidupan di Bumi. Beliau menghipotesakan bahwa atmosifr Bumi tidak lain merupakan perluasan dari bisofir. Lebih jauh lagi seluruh benda hayati di permukaan Bumi membentuk suatu sistem hidup yang memengaruhi atmosfir Bumi dan menjadikannya sesuai bagi kehidupan serta memberikan fasilitas dan kekuatan yang jauh lebih besar daripada benda hayati penyusunnya secara sendiri - sendiri.
Apa yang mendasari pemikiran JE Lovelock adalah bahwa berbagai fosil kehidupan di Bumi yang sudah berusia 3.5 miliar tahun menunjukkan bahwa atmosfir Bumi tidak berubah banyak selama masa itu sekalipun aktivitas dan suhu Matahari, komposisi atmosfir dan sifat permukaan Bumi telah banyak berubah. Keberadaan oksida nitrat, gas metan dan nitrogen bertentangan dengan hukum - hukum kesetimbangan kimia karena sifat kemampuan oksidasi yang dikandungnya. Secara unik senyawa - senyawa ini selalu terpelihara dalam keadaan optimal. Secara lebih luas, atmosfir Bumi apapun kondisi eksternalnya senantiasa berada dalam keadaan optimal bagi kehidupan. Jadi atmosfir Bumi jelas bukan sekedar produk biologi tetapi lebih mungkin adalah juga benda hayati tersendiri yang mampu mengendalikan aktivitasnya bagi terselenggaranya kehidupan secara keseluruhan Atas pemikiran inilah berbagai riset tentang pencarian kehidupan ekstra terestrial didasarkan, yaitu bahwa untuk menemukan kehidupan, perlu meneliti keberadaan atmosfir yang lebih merupakan mantel kehidupan yang sanggup memelihara kehidupan.
Beralih dari Cara Pandang Antroposentris ke Cara Pandang Universal
Para ilmuwan dalam meneliti kemungkinan adanya makhluk hidup di luar Bumi berpijak pada karakteristik makhluk hidup di Bumi. Cara pandang ini tentulah sesuatu yang wajar dan sangat antroposentris. Namun sebagai ilmuwan tentulah perlu membuka celah bagi kemungkinan munculnya bentuk kehidupan dengan karakteristik dasar berbeda dengan makhluk Bumi. Para ilmuwan setidaknya memberi patokan dalam tiga aspek dalam memetakan kemungkinan adanya bentuk kehidupan alternatip yaitu karakteristik biokimia, karakteristik evolusi dan karakteristik morfologis.
Aspek Biokimia
Semua bentuk kehidupan di Bumi diketahui selain memerlukan unsur - unsur utama seperti Karbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N), Belerang (S), dan Fosfor (P) serta sejumlah unsur runut berupa mineral, juga air (H2O) sebagai pelarut dimana berbagai reaksi biokimia dapat berlangsung. Diasumsikan bahwa kelimpahan sejumlah unsur karbon yang mencukupi serta beberapa elemen utama kehidupan lainnya bersama - sama dengan air membuka peluang terbentuknya organisme hidup di planet lain yang memiliki komposisi kimia dan suhu rata - rata yang menyerupai Bumi. Bumi dan planet - planet lainnya diketahui terbentuk dari debu antar bintang yang memiliki kelimpahan berbagai unsur kimia yang mencukupi yang berasal dari sisa supernova, maka sangat dimungkinkan bahwa planet - planet lain tersebut selain Bumi juga memiliki komposisi kimiawi yang serupa dengan Bumi.
Kombinasi karbon dan air dalam bentuk senyawa kimia Karbohidrat (seperti gula) dapat menjadi sumber energi kimiawi dalam mana kehidupan bergantung kepadanya. Kombinasi ini dapat pula menyediakan unsur dasar struktur kehidupan (seperti misalnya Ribosa dalam molekul DNA dan RNA dan selulosa pada tanaman). Tanaman menghasilkan energi melalui konversi energi cahaya menjadi energi kimia melalui fotosintesa. Kehidupan memerlukan Karbon untuk adanya keadaan tereduksi (turunan metana, CH4) dan teroksidasi parsial (karbon dioksida, CO2). Ia juga memerlukan nitrogen sebagai derivat ammonia (NH4OH) tereduksi dalam semua bentuk protein, belerang sebagai turunan Hidrogen Sulfida (H2S) dalam sejumlah protein esensial dan fosfor teroksidasi pada fosfat (HPO4) dalam kandungan materi genetik dan transfer energi. Sedangkan air (H2O) yang cukup sebagai pelarut telah menyediakan oksigen yang cukup sebagai konstituen berbagai senyawa biokimia.
Air murni dibutuhkan karena memiliki tingkat keasaman netral (pH = 7) berkenaan dengan disosiasi antara hidroksida (H+) dan ion hidronium ( OH- ). Sebagai hasilnya, larutan ini dapat melarutkan baik ion positip logam (X+) maupun ion negatip unsur non logam (Y-) dengan kekuatan yang sama. Lebih lanjut, kenyataan bahwa molekul organik dapat menjadi hidrofobi (tidak melarut dalam air) atau hidrofili (larut dalam air) menciptakan kemampuan senyawa organik untuk mengarahkan dirinya sendiri membentuk membran yang mampu melingkupi air (misalnya dalam badan sel). Kenyataan bahwa air dalam bentuk padatan kurang rapat ketimbang air dalam bentuk cairan juga berarti bahwa es mengapung dan oleh karenanya mencegah samudra di Bumi dari pembekuan secara perlahan - lahan. Tanpa kualitas semacam ini, samudra sudah pasti akan membeku pada masa - masa zaman es di Bumi dan bisa jadi Bumi kehilangan matra hidupnya.
Sebagai tambahan, gaya Van der Waals antar molekul air memberi kemampuan pada air menyimpan energi yang melalui penguapan, dan energi akan dilepas dalam proses kondensasi. Hal ini membantu iklim menjadi lebih moderat, mendinginkan wilayah tropis dan menghangatkan wilayah kutub, serta membantu menjaga kestabilan termodinamis yang sangat dibutuhkan bagi keberlangsungan kehidupan.
Unsur Karbon sangat mendasar bagi kehidupan terrestrial karena kelenturannya dalam menciptakan ikatan kovalen dengan berbagai unsur non logam, utamanya nitrogen, oksigen dan hidrogen. Karbon dioksida dan air secara bersama -sama memungkinkan menyimpan energi Matahari dalam senyawa gula, seperti glukosa. Oksidasi glukosa akan melepaskan nergi dalam bentuk energi biokimia yang dibutuhkan sebagai bahan bakar reaksi biokimia lainnya. Kemampuan membentuk asam organik (-COOH) dan basa amino (-NH2) memunculkan peluang netralisasi reaksi dehidrasi untuk membangun rantai polimer peptide yang panjang dan protein katalis dari asam amino monomer. Dan dengan fosfat dapat membangun bukan hanya rantai DNA (molekul penyimpan informasi genetis) tetapi juga ATP (arus energi utama bagi kehidupan cellular).
Berkenaan dengan kelimpahan relatip serta kegunaannya zat - zat esensial diatas dalam menjaga keberlangsungan kehidupan, para ahli menghipotesakan bahwa bentuk kehidupan dimanapun di Alam Semesta ini akan juga memerlukan materi - materi dasar diatas. Meskipun demikian, unsur lain atau pelarut lain memiliki juga kemungkinan sebagai alternatip bagi dasar - dasar kehidupan. Misalnya, Silikon sering dianggap sebagai kandidat utama yang menjadi pengganti unsur karbon. Bentuk kehidupan berbasis silikon diperkirakan memiliki morfologi tubuh mirip kristal dan diduga memiliki kemampuan hidup pada temperatur lingkungan yang tinggi, misalnya diplanet - planet yang dekat dengan bintang pusatnya. Bentuk kehidupan berbasis ammonia (ketimbang yang biasanya adalah air) juga merupakan alternatip sekalipun solusi ini kurang optimal dibandingkan dengan air.
Aspek Evolusi dan Morfologi
Sebagai tambahan atas dasar biokimia kehidupan ekstra terrestrial, para ahli juga mempertimbangkan evolusi dan morfologi. Sejumlah fiksi ilmiah sering menggambarkan kehidupan ekstra terrestrial dengan bentuk - bentuk mirip manusia (humanoid) dan / atau reptil. Seekor (seorang) alien acapkali digambarkan memiliki kulit berwarna hijau atau abu - abu, dengan kepala besar dan empat anggota tubuhnya yang sangat antroposentris. Subyek lain yang juga sering diimajinasikan adalah berbentuk serangga sebagai representasi makhluk asing.
Dipertimbangkan suatu pembagian antara karakteristik yang sifatnya universal dan karakteristik yang sifatnya parochial (terbatas secara sempit). Universal adalah karakteristik yang pernah secara bebas lambat laun terjadi lebih dari sekali di Bumi (dan oleh karenanya dianggap tidak terlalu sulit untuk berkembang) dan secara intrinsik berguna sehingga setiap spesies akan cenderung kepadanya. Ini termasuk gerombolan, pengelihatan, fotosintesa dan anggota badan, yang semuanya sudah lambat laun terjadi beberapa kali di Bumi. Terdapat sejumlah besar variasi mata, sebagai contoh, dan banyak daripadanya memiliki perbedaan radikal dalam skema kerja dan fokus visual: spectrum visual, infra merah, polaritas dan ekolokasi. Parokial secara esensial adalah bentuk evolusioner yang sembarang. Karakteristik yang demikian sering memiliki sedikit utilitas terpadu (atau sekurangnya memiliki fungsi yang dapat secara setara dilayani oleh morfologi yang berbeda) dan mungkin tidak akan tereplikasi lagi. Contoh klasik suatu parokial adalah konjungsi yang fatal dari jalan nafas dan makan dijumpai dalam sejumlah hewan, walaupun hal ini adalah mungkin bahwa konjungsi ini diperbolehkan dalam evolusi cara bicara manusia. Alien cerdas dapat berkomunikasi melalui bahasa tubuh seperti orang tuli, atau melalui suara yang diciptakan dari struktur yang tak terkait untuk bernafas, yang terjadi di Bumi ketika cicadas menggetarkan sayap atau jangkrik menggesekkan khaki mereka.
Upaya untuk mendefinisikan gambaran parokial menantang banyak anggapan tentang keharusan morfologis yang diambil begitu saja. Kerangka tubuh yang sangat penting bagi sebagian besar organisme terrestrial terkait kepada para ahli dibidang biologi gravitasional, hampir diyakini tereplikasi dimanapun pada satu dan lain bentuk kehidupan. Banyak juga yang secara raba - raba seperti dalam hal makhluk ekstra terrestrial dianggap bertelur, namun kelenjar susu di mamalia termasuk kasus tunggal.
Asumsi keragaman radikal diantara makhluk ekstra terrestrial tanpa sengaja terpatri. Sementara banyak ahli eksobiologi menekankan sangatnya keberagaman alam kehidupan di Bumi melatar depani asumsi lebih beragamnya kehidupan di luar Bumi, lainnya justru menekankan adanya suatu evolusi konvergen mengarahkan kesamaan substansial antara Bumi dan kehidupan ekstra terrestrial. Dua pandangan filosofis ini disebut divergionisme dan konvergenisme.
No comments:
Post a Comment